Menatap Dramaturgi Cilaka: Cara Sinis Mengkritik Kehidupan yang Tak Manis
Oleh Moh. Shobirienur Rasyid (Budayawan)

#bincangpetite #sastra [6, pause]
/16/
Pada paruh kedua tahun lalu datang kiriman paket dari mas Panji Gozali berisi buku tipis naskah pentasnya: Cilaka. Disebut tipis karena keseluruhan buku itu hanya berjumlah 67 halaman. Jumlah halaman itu oleh generasi Millenial Ketiga masih dianggap terlalu tebal, karena mereka hanya biasa mengkonsumsi informasi dalam hitungan menit. Bahkan detik.
Naskah drama Cilaka itu berkisah tentang sebuah keluarga: Sepasang suami-istri yang menjadi orang tua dari lima anak. Kelima anak itu diberi nama dengan konsonan yang sama: “K-NT-L”. Masing-masing bernama Kantal, Kintil, Kuntul dan Kentel. Panji, sang penulis naskah, melalui tokoh suami-istri ciptaannya, merahasiakan satu nama lain bukan hanya kepada penonton tetapi juga kepada anak-anak kandung suami-istri rekaan itu. Panji menjadikan rumah sebagai ruang untuk mengkritik berbagai persoalan dalam kehidupan sosial hingga persoalan privat dengan caranya: mendagel secara sinis, kalau bukan disebut secara sarkastis.
Naskah itu bermula dari keasyikan individual seisi rumah di teras rumah: suami istri membicarakan soal kawin di tengah pekerjaan mengayak beras, Kantal sedang main catur bersama Kentel, Kintil sedang membantu ibunya mengayak beras dan Kuntul sedang membaca koran. Adegan disusul dengan berita hilangnya burung seorang anggota dewan, burung di dalam sangkar pada suatu sore hingga malam hari di teras rumah. Adegan berikutnya berkisah tentang kesibukan bersiap kerja di pagi hari, kelelahan aktivitas di siang hari dan adegan sisipan yang mengisahkan seorang pedagang dengan seorang anak buahnya. Babak akhir dari naskah itu menampilkan adegan Kantal dan Kentel masing-masing membawa sangkar burung, kematian ayah mereka yang meninggalkan surat wasiat dan Kintil bertemu Alot, yang merupakan pacarnya.
Mendagel cara Panji Gozali dilakukan dengan main-main dan komikal. Penamaan tokoh-tokoh berkonsonan “K-NT-L” dan menyembunyikan satu anak dari saudara-saudaranya, adalah cara Panji Gozali merawat kritik atas persoalan-persoalan sosial hingga persoalan privat. Bila seorang pejabat negara hanya memiliki seorang juru bicara, maka seorang sastrawan memiliki juru-bicara dalam hitungan tak terbatas: ia mencipta tokoh-tokoh rekaan untuk mewakili suara hati dan protes-protesnya atas ketimpangan-ketimpangan sosial yang ia saksikan, sesuka jumlah yang ia kehendaki. Begitulah, Panji Gozali merawat suara hati dan protes-protesnya dalam Cilaka.
/17/
Suara-suara hati Panji Gozali itu kadang terdengar lirih, seperti “Hidup memang sulit dimengerti, sebab ceritanya yang tidak mungkin berakhir,” (h. 5), “Kawin tidak melulu menyelesaikan masalah. Terkadang justru kawin akan melahirkan permaasalahan-permasalahan yang baru,” (h. 13), “Orang kita itu, lebih arif merasa, bukan berpikir,” (h. 24), “Yang enak tidak peduli pada yang susah. Yang susah tidak peduli pada nasibnya sendiri,” (h. 46), “sejauh apa pun Ster pergi, dia akan pulang untuk melindung Sang Raja!” (h. 56).
Kadang suara Panji Gozali terdengar penuh ironis, seironis gelengan kepala sebagai bentuk respon absurd atas pernyataan-pernyataan yang sesungguhnya merupakan fakta dan sekaligus persoalan sosial: “De-mo-kra-si di-ke-bi-ri! Dikebiri? Kasihan. Mandul.” (h. 2) “Anggota Dewan yang berjumlah sekian, bolos ra-pat! Ah, klise.” (h. 2), “Kemerdekaan seekor burung lebih mahal harganya ketimbang uang!” (h. 57). Atas semua pernyataan itu, gelengan kepala merupakan respon absurd atas keabsurdan sosial yang melihatnya sebagai fakta dan sekaligus sebagai persoalan.
Bahkan pada kali yang lain, suara Panji Gozali terdengar penuh sinis, sesinis gelengan kepala sebagai bentuk respons absurd atas keabsurdan sosial: “Istri aparat berkicau, suaminya menanggung dosa.” (h. 3), “Tol bawah laut memakan biaya pembangunan sebesar …” (h. 6), “sejarawan mandul lantaran tidak pernah menulis buku sejarah,” (h. 10), “Sebagai mahasiswa, kalau kau berbicara atas nama bangsa dan negara, ke mana saja kau selama ini atas tanggung jawab kuliahmu?” (h. 18).
Bahkan sarkastik. Panji menyuarakan informasi tentang “Seorang ninja ditusuk senjata tangan kanan pimpinan negara,” dengan cara mengungkapkan kalimat terbalik: “Seorang tangan kanan pimpinan negara ditusuk senjata tinja.” (h. 4), “mestinya, banyak anak itu banyak rezeki! Ini kok malah …“ (h. 10), “keperawanan jadi urusan negara,” (h. 21). Atau, “Kesejahteraan milik negara. Kesengsaraan milik rakyat. Itulah akhir dari sebuah perjuangan salah seorang manusia. Mati dalam kesengsaraan, bermimpi tentang kesejahteraan.” (h. 59).
Panji Gozali tentu paham, bahwa banyak orang Jawa yang mengikuti tradisi Jawa ketika memanggil anak-anak lelakinya dengan menyebut alat kelaminnya, “… thol-e”, atau memanggil anak-anak perempuannya dengan menyebut alat kelaminnya juga, “… wuk” atau “… nok”. Maka, dapat dipahami kalau tokoh-tokoh rekaannya diberi nama: Kantal, Kintil, Kuntul dan Kentel. Nama-nama yang dibentuk dari konsonan yang sama: “K-NT-L”. Meskipun demikian, pada Cilaka, Panji Gozali memberi kelamin pada tokoh Kintil sebagai perempuan.
/18/
Satu nama anak yang dirahasiakan Panji Gozali dalam Cilaka adalah anak sulungnya yang dibuang ke Panti Asuhan oleh orangtuanya. Anak buangan itu diadopsi orang berada, kehidupannya sukses dan berhasil menjadi anggota Dewan. Anak itu sering disebut bapaknya dalam dialog di rumah mereka, tetapi setiap kali bapaknya menyebut, tokoh lain segera memotongnya dengan mengucapkan kalimat lain.
Pak Raka : (teriak dari dalam) Kantal, Kintil, Kuntul, Kentel, Kon …
Kuntul : Toleransi jadi hal yang kritis, kalau fanatisme terus berkobar (ia
membacakan isi koran, Babak Satu: Adegan Empat, h. 27).
Atau
Pak Raka : (mengabsen anak-anaknya) Kon …
Bu Rika : (teriak dari dalam) Tolong ya mobilnya jangan lupa, yang gres!
Panji Gozali memang sedang main-main dengan alat kelamin sambil mengkritik secara sinis kehidupan yang tak manis.
Terima kasih kepada Panji Gozali, meski tulisan ini bukan bentuk ungkapan terima kasih karena engkau telah menghadiahi saya naskah dramaturgi.
Serpong, Rabu 18 Januari 2023